Sejarah Kota D.I.Y
Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)
Tanggal 18[2][3] atau 19[4] Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta
atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden
dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima
kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya[2]. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan
sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan
atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan
perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi[4].
Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)
Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti[1]. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci[5]. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan
100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan
diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena
bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari
sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan
Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai
dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada
hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi
kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman[4].Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan[6].
Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi[2], barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama[6].
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga
dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit
monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya
terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu
dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi[4]:
- Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
- Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
- Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
- Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
- Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi[4]:
- Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
- Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya
wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing
kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja[6].
Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi
Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang
punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan
ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus
Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII
mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta[4][6].
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan
memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama
lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan
sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan
bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya
ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua
Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah
Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta[6].
Seiring dengan berjalannya waktu[2][6],
berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang
saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen)
Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan
KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup
keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena
itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan
Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke
dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk
sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat
No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan
di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga
menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan
Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena
perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi
daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang
menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang
terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut
adalah[2]:
- Kedudukan Yogyakarta
- Kekuasaan Pemerintahan
- Kedudukan kedua raja
- Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
- Pemilihan Parlemen
- Keuangan
- Dewan Pertimbangan
- Perubahan
- Aturan Peralihan
- Aturan Tambahan
Periode II:1946 - 1950
Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa
sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII
dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 )[2][6]. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946[2].
Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan
digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat.
Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18
yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta
tersebut[6].
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan
menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah
Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen
lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota
Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk
Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman)[6]. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki[2][6] yang
tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal
13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan
RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung,
yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7
tentang Dewan Pertimbangan[2].
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan
Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan
tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku
secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah
(Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati
Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.
Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau
direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang
melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk
persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan
Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada
DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD,
melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 ).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di
Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan
Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan.
Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing
tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum
diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta
menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta
dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah
Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX[6]. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Wali kota Haminte-Kota
Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan
Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Wali kota Yogyakarta pertama) yang
turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I[2].
UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah
dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah.
Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik
dalam diktum[7][8] maupun penjelasannya[9][10]. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang
menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh.
Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala
Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda[2]. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949,
Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer
Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950[2].
Periode III: 1950 - 1965
Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB,
Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia
yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian
dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Pembentukan DIY (1950)
DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN
1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta
sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan
otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah
anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah
peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang
berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta
tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU
22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara
tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A
N sebuah Provinsi[11].
Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi
hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan
wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY
bukan pula sebuah monarki konstitusional[12].
Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates),
dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951,
kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon
Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu
kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN
1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota
di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)
Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)
Pada tahun 1951 Yogyakarta
menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan
Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung.
Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo
Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya[2]. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP[2].
Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan
Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan
dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa,
selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja
(Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung
jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY (1950an)
Perubahan yang cukup penting[12], pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota[12].
Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi
DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY
sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem)[2]. Sementara wilayah Mancanegara,
yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil,
menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya
cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga
wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia[12].
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton.
Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup
untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi
menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada
kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran
tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K
A N merupakan monarki konstitusi[12].
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX.
Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, dia tidak
dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan
dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi[2]. Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem)
tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik
dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal.
Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)
Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur
dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini
diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum[13][14] maupun penjelasannya[15].
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang
pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan
sebelumnya (UU 22/1948)[16].
Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang
melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai
'metamorfosis' abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi
tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang
memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang
menghendaki hapusnya pamong praja[2].
Penyatuan Wilayah (1957-1958)
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September
1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke
dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang
wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan
enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (LN 1958 No. 33, TLN 1562).
Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda[17].
Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional,
praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Periode IV: 1965-1998
Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi [18] (sebelumnya
adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]).
Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan[19]. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat[20]. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari [21].
Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah
selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.
Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia.
Otomatis dia tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu
pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan
tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No.
5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di
sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan[22].
Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah
Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan
Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978.
Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982
menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa
DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD
1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam
Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980[4].
Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Dia wafat di Amerika Serikat
saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur
terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa[23].
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto,
Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah
maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk
mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri)
untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan
dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan
Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara
yang disebut Pisowanan Agung[23].
Beberapa bulan setelahnya dia menderita sakit dan meninggal pada tahun
yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur
terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998)
serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Periode V: 1998-2008
Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan
Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara
Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro
Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh
kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh
Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah
suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan
1998-2003[23].
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan
bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka
Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah
Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun dia belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur
masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY[24]. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya .[25].
Pada tahun 2000, MPR RI
melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah
istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu
daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang[26].
Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)
Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002[27]. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah[27].
Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing
dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir pada tahun 2003, kejadian pada
tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan
pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat
menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA
IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan
2003-2008.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2012])
Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status
keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur
secara khusus[28][29][30] seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua[31].
Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY
diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut.
Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua,
Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah
Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi
Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu
dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya[27].
Periode VI (Peralihan): 2007 - sekarang (2012)
Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X
Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah[32] lewat
orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya
tidak bersedia lagi untuk dipilih sebagai Gubernur DIY setelah masa
jabatannya selesai tahun 2008[33].
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi[34] (rektor
UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut
kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus
di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah.
Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di
Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo
Santoso[34] pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Bagi Roy Suryo[35] pakar
telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X
merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut.
Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry
Zudianto[36] (Wali kota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
Warga Bantul[37] siap
menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan
Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia
memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa
Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan[36].
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak
menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000
warga Yogyakarta[38].
Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas[38] pada 13 April 2007 menunjukkan
74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat
Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang
setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura
Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap
masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan
oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan
70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara
langsung[39].
Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas[40] pada
21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat
mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember
2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal
utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan
keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah
pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi
terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah
perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh
keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan
opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).
RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008)
Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I
Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi
(anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspirasi[41].
Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)
FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan
hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007[42]. Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK[43]. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo[44], tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi.
Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya
sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu
kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya.
Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR[45], namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di Setneg dan Depkumham[46].
Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU
Perubahan Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY[47].
RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret
2008 dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah
diserahkan ke Komisi II DPR untuk dibahas[46].
Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan
maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008
sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang
Rakyat” di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya
dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat
Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi
masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK)
yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat[48].
Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa.
Menindak lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca:
kubu konservatif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu
liberal) Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat
untuk menggelar Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April
2008[49].
Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus
(Pansus) Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan
tersebut diambil dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau
utusan Departemen Dalam Negeri pada 23 April 2008[50].
Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat
mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam
IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun
substansi RUUK belum selesai dirumuskan[51].
Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal
usulan materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah,
juga posisi kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Selain itu Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945,
posisi kraton sudah menjadi bagian dari republik. Karena itu, kraton
akan tunduk dengan perundang-undangan. Terkait dengan RUUK, memang bisa
muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi masyarakat harus dapat
diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat[52].
Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan
tugasnya pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat
Paripurna DPRD. Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan
catatan) rekomendasi Pansus menjadi Keputusan Politik Dewan yang antara
lain mendesak Pemerintah Pusat agar menetapkan Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU Keistimewaan DIY[53][54].
Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri)
kepada DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas. Sementara itu
pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga keraton/adik-adik Sultan) juga
menyiapkan dan mengirimkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR RI
sebagai bahan masukan di samping berbagai draf yang ada.
Beberapa pemikiran rakyat
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam
kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro
Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana
dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan
Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19
Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat
Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD
1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950;
Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama,
Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa
(sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak
asal usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih
kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta
bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan
kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional
& Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan
dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat
provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30
Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam
hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh
Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan
19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP
DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan
seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan
bertahtanya).
Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut -
larut disebabkan oleh : Pertama, manuver politik terkait konvensi
pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10)
serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya
pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan
melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak
bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya
berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10);
Kedua, setiap produk undang - undang yang mengatur tentang
pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No.
32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul
suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945,
pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen),
pasal 18 b (ayat 1 & 2);
Ketiga, pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami
secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman
(pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan
(pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
Keempat, ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan
karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah
kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik)
yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika
belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan
sosial masayarakat & pemerintahan NKRI;
Kelima, perpindahan orientasi politik atau mazhab politik
berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam
pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem &
hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen
UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No.
10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi
sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih
banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah
terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
Keenam, proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih
terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang
menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat),
sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub &
Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak
Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang
Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab
langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas
medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi
sebagaimana wali kota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung
dipilih oleh rakyat sesuai amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.
September - Oktober 2011
Masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah diperpanjang
selama tiga tahun (2008-2011) kembali diperpanjang untuk kedua kalinya
(2011-2012).
Mei - Agustus 2012
Pada 10 Mei 2012, Sultan Hamengku Buwono X, dengan didampingi Adipati Paku Alam IX mengeluarkan dekrit kerajaan "Sabdatama". Dekrit tersebut pada intinya berisi, antara lain, Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur. Dekrit ini merupakan dekrit pertama yang dikeluarkan oleh Monarki Yogyakarta semenjak, terakhir, 30 Oktober 1945. Dengan dikeluarkannya dekrit ini sikap Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri agak melunak. Selain pengeluaran dekrit kerajaan terjadi pertemuan tertutup antara Sultan Yogyakarta dengan Presiden Republik Indonesia. Beberapa kesepahaman yang penting adalah menetapkan Sultan Yogyakarta yang bertahta sebagai Gubernur lima tahun sekali dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur lima tahun sekali. Selain itu disepakati bahwa Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta akan diselesaikan dan diundangkan sebelum masa perpanjangan jabatan pada Oktober 2012 selesai.Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar